Istilah Pawiwahan dan Pahargyan,Masih Banyak Yang Keliru Menafsirkan

Oleh: Iqbal Wahyu Purwito, Pengurus Paguyuban Metri Budaya Jawa Melathi Surakarta


DALAM acara kumbokarnan (pertemuan para panitia dalam persiapan resepsi perkawinan dengan tatacara adat Jawa ), sang sekretaris membagikan salinan para kridha darma (panitia) beserta rundown-nya sekaligus. Kemudian sang pangarsa (ketua panitia) pun membacakan isi salinan tersebut. Pertanyaan dan saran segera bergulir dari para undangan acara kumbokarnan yang namanya tercantum sebagai panitia. Materi pembicaraan terkait soal teknis pelaksanaan, mulai acara, persiapan konsumsi dan perkiraan tamu, dan sebagainya.

Ada yang menggelitik hati ini sebenarnya ketika saya juga hadir dalam acara tersebut (kebetulan saya didhapuk menjadi panitia untuk atur pambageharja). Namun hanya saya simpan dalam hati dan tidak saya gulirkan di hadapan forum, lantaran tidak terkait persoalan teknis pelaksanaan maupun rundown yang sudah lumayan sempurna. Meski demikian, jika nantinya salinan tersebut ada revisi dan akan diperbanyak kembali untuk dibagikan lagi kepada panitia, pasti saya akan membisiki sang panitera (sekretaris panitia).

Apa sih yang membuat hati ini tergelitik? Tak lain adalah judul rencana penyelenggaraan resepsi tersebut. Dalam judul rantaman itu terdapat kata “pawiwahandhauping pengantin. Padahal, kalau melihat rundown-nya, jelas nantinya sang mempelai tidak mengenakan busana basahan, karena pengantin putrinya justru mengenakan busana muslimah. Dan, para panitia pun (termasuk pangarsa/ketua) juga berulang kali mengucapkan istilah “pawiwahan” dalam mengungkapkan maksud pahargyan. Barangkali, mereka menyamakan penafsiran makna kedua istilah tersebut, atau mereka “lupa” karena dianggap bukan hal prinsip secara teknis operasional urutan acara dan urusan menjamu tamu. Atau, bisa jadi, mereka memang belum sampai informasi mengenai kata yang trep/sesuai kondisi atau realitanya. Banyak faktornya.

Jika ditilik dari konteksnya, istilah pawiwahan dan pahargyan jelas berbeda. Setahu saya ketika nyantrik untuk mendapat seserepan dari para dwija serta 'merekam' pendapat para “pana” dalam tatacara adat Jawa, istilah tersebut bukanlah nuansa, melainkan memiliki perbedaan yang jelas. Dari sisi undha-usuking resepsi, istilah seperti pawiwahan, pahargyan, pasamuan, climen dan slentheman.Untuk  pawiwahan, memang setara dengan pahargyan, secara kategori jumlah tamu. Namun istilah pawiwahan diterapkan jika “kostum” pengantin adalah basahan. Sedang pahargyan, dikenali dari busana "baju" yang dikenakan pengantin (bukan basahan).
Kemudian, kategori jumlah tamu yang lebih kecil dari pawiwahan dan pahargyan adalah pasamuan. Turun lagi, dengan jumlah tamu undangan yang lebih kecil, yakni climen. Resepsi dengan istilah climen ini hanya mengundang kerabat dan tetangga sekitar. Di bawah climen adalah slentheman, di mana hanya mengundang kerabat serta tokoh masyarakat setempat.

Barangkali istilah tersebut di atas dapat mengingatkan kita kembali ketika kita hendak merancang kepanitiaan resepsi pengantin dengan tatacara adat Jawa. Apalagi untuk para paraga yang mendapat amanah hamicara (seperti atur pasrah, atur panampi, atur pambageharja, terlebih untuk pambiwara), pemakaian istilah yang “trep” / klop sangat berpengaruh terhadap pencitraan dari para tamu undangan. Mengingat, di antara tamu undangan pasti ada satu-dua yang sedikit paham atau pernah mendapat seserepan semacam ini. Paling tidak, kita dapat menularkan kepada generasi berikutnya mengenai pemakaian istilah tersebut. (*)