Tatacara Perhelatan Jawa Kian Memprihatinkan (2-Habis)


Oleh: Iqbal Wahyu Purwito, Pengurus Paguyuban Metri Budaya Jawa MELATHI Surakarta



Perubahan generasi membawa pengaruh bagi perubahan style maupun taste dalam berbagai area. Termasuk di dalamnya adalah perhelatan perkawinan dengan adat Jawa.

Pengantin saat ini mungkin sudah tak begitu suka lagi dengan kentalnya suasana adat atau tradisi perkawinan. Mereka melihat dari kacamata mereka sendiri sebagai generasi yang lahir di era komputer dan segala bentuk teknologi yang makin canggih. Jika mereka menikah, mereka pun sepertinya ingin bebas berekspresi dengan model perhelatan yang akan dilakukan. Mulai prewedding, misalnya setting lokasi dan pose untuk cover undangan, bentuk dan bahan undangan, hingga aneka pernik ubarampe paningset pun telah mereka kreasi, sesuai selera, dan tentu saja kapasitas kantong tabungan yang ada.

Bukan hanya itu. Yang kelihatan lebih ekstrem adalah pemilihan hari perkawinan, sangat “berlawanan” dengan tempo doeloe. Jika dulu orang tua atau mereka yang mengantongi status dituakan akan mencari hari pernikahan (disesuaikan dengan banyak hal), calon pengantin hanya manut saja. Nah, sekarang? Justru calon pengantin yang merancang sendiri hari atau tanggal perkawinan. Calon pengantin generasi kini akan mencari momen yang dianggap punya histori ataupun hal istimewa bagi kedua calon mempelai. Misalnya, momen perkawinan pada tanggal 10 bulan Oktober tahun 2010 (jika ditulis angka menjadi 10-10-’10). Begitu pula dengan angka yang lain, seperti: 8-9-’10; 9-10-’11; 11-11-’11; 10-11-’12, dan sebagainya. Unik memang dan mudah diingat pemilihan tersebut. Mereka tak lagi memedulikan apakah pada momen tersebut secara neptu maupun pasaran klop dalam perhitungan Jawa.

Belum lagi dengan susunan acara, kini sudah merebak fenomena sejumlah “pakem” yang ditiadakan dalam pahargyan atau pawiwahan pengantin. Ambil contoh, dalam pahargyan dhauping panganten (oleh pihak pengantin putri), cara masuk pengantin pun mereka ubah. Yakni, bukan lagi ”pakem” penganten putri mijil lebih dahulu. Melainkan pengantin muncul secara bersama, bahkan disertai rama-ibu dan besan. Nah, kalau ditilik dari sisi “treping tatacara” bakal memicu pertanyaan: apakah ini acara ngundhuh manten (penyelenggara pihak pengantin pria)? Ada lagi. Dalam acara tersebut tidak lagi ada acara pasrah-panampi penganten. Jadi, sudah cara masuknya mirip acara ngundhuh pengantin, mereka juga langsung ndelujur berjalan menuju kursi pelaminan begitu saja. Yang tidak dihilangkan hanya acara pambageharja, mungkin pertimbangan tatacara ini adalah ucapan selamat datang dari penyelenggara/tuan rumah kepada para tamu undangan.

Yang tak kalah lucu adalah pengantin, rama-ibu dan besan berbusana kejawen jangkep, namun pambiwara-nya tidak memakai basa Jawa melainkan bahasa Indonesia. Bahkan, kadang pambiwara-nya di-handle oleh seorang presenter yang biasa menangani show atau event hiburan yang sarat entertain, sehingga bahasanya pun cenderung bahasa gaul dan sangat jauh dari sentuhan formal. Padahal, bukankah perhelatan pengantin itu sebenarnya berbau “sakral” (dalam arti konteks pengantin adalah raja dan ratu sehari, sehingga harus dihormati dan punya aura kewibawaan )? Dan, yang seperti ini kadang kita jumpai si mempelai (apakah pria, wanita, atau malah keduanya) mau saja didaulat oleh presenter yang menjadi MC untuk menyanyi diiringi group band atau solo kibor. Nah! (*)