Wayang "Kultus" Bikin Akidah Tergerus
Oleh: Iqbal Wahyu Purwito, pandhemen budaya Jawa.
KERAP kita menjumpai sebuah wayang kulit berupa salah satu tokoh di jagad pewayangan menghiasi dinding ruang tamu seseorang. Biasanya berukuran lumayan besar dan berbahan kulit. Sang pemilik rumah pun tentunya merogoh kocek yang tidak sedikit, lantaran selain garapan wayang kulit tersebut sangat halus dan detail, sehingga memancarkan aura karya seni yang tinggi dan berkesan. Belum lagi, kadang masih dipigura dengan bentuk serta bahan yang berkualitas bagus pula. Tokoh pewayangan yang dipasang pun berbeda-beda, tergantung “maksud” dan “idola” sang pemilik. Ada Werkudara atau Bima, ada pula Semar atau Ismaya, Kresna, dan sebagainya. Yang jelas, tidak ada yang memasang tokoh Sengkuni ataupun Durna.
Nah, apa yang terlintas di benak kita kala melihat wayang tersebut? Tentunya kita akan menilai si pemilik memasang wayang tersebut karena sifat-sifat tokoh wayang tadi yang mungkin dianggap memiliki nilai sesuai pedoman hidupnya. Bisa juga lantaran kegagahan tokoh wayang pilihannya, karena karya seni yang tinggi / faktor keindahan, dan sebagainya.
Namun, tidak menutup kemungkinan pula karena ada “sesuatu” yang menjadikan alasan kuat pemilik memasang tokoh wayang tersebut. Apa “sesuatu” tadi? Tak lain karena “petunjuk” dari hasil kontemplasi, meditasi, dan sejenisnya, atau karena “saran” dari orang “pintar” yang dia datangi untuk memasang wayang tersebut dengan alasan tertentu pula. Seperti untuk kewibawaan terkait jabatan sang pemilik di tempat kerja, untuk penolak bala alias perlindungan diri, dan lainnya. Nah, yang seperti inilah yang mengerikan, khususnya untuk keimanan kita. Na’udzubillahi mindzalik!
Ambil contoh salah satu tokoh pewayangan yang kerap dijadikan hiasan dengan maksud tertentu, seperti Semar. Sungguh sangat disayangkan jika tokoh panakawan ini dikultus-individukan bak “dewa” dalamkehidupan manusia. Bukankah jelas sekali, semua tokoh pewayangan, termasuk Semar sebagai salah satu panakawan, hanyalah merupakan ciptaan manusia. Kita tilik sejarah, panakawan itu diciptakan para wali untuk mensimbolisasi suatu keadaan dalam misi dakwah mereka menyebarkan Islam. Saya jadi teringat cerita maupun dokumen-dokumen yang pernah saya baca, mengenai keterkaitan panakawan dengan penyebaran Islam oleh para wali di Indonesia, khususnya di tanah Jawa. Tokoh-tokoh wayang tersebut dihadirkan sebagai media mengkomunikasikan pesan kepada masyarakat, yakni ajaran Islam. Ini karena masyarakat saat itu wayang merupakan hiburan favorit masyarakat Jawa. Nah, nama-nama tokoh pun sebenarnya mengandung pesan karena (konon) dari bahasa Arab.
Semar, aslinya tokoh ini berasal dari bahasa Arab, yakni Ismar. Dalam lidah Jawa, Ismar berarti paku. Tokoh ini dijadikan pengokoh (paku) terhadap semua kebenaran yang ada, atau sebagai advisor dalam mencari kebenaran terhadap segala masalah. Paku disini dapat juga difungsikan sebagai pedoman hidup, pengokoh hidup manusia, yang tak lain adalah agama.Sehingga, Semar bukanlah tokoh yang harus dipuja. Penciptaan Semar sekadar penciptaan simbolisasi dari agama sebagai prinsip hidup setiap umat beragama.
Demikian pula dengan Gareng, juga diadaptasi dari kata Arab. Nala Gareng (konon) berasal dari kata Naala Qariin, artinya memperoleh banyak teman. Ini sesuai dakwah para wali sebagai juru dakwah untuk memperoleh sebanyak-banyaknya teman (umat) untuk kembali kejalan Allah SWT dengan sikap arif dan harapan yang baik.
Sedangkan Petruk, diadaptasi dari kata Fatruk.Kata ini merupakan kata pangkal dari sebuah wejangan tasawuf yang berbunyi : Fat-ruk kulla maa siwallahi, yang artinya: tinggalkan semua apapun yang selain Allah.Wejangan tersebut kemudian menjadi watak para wali dan mubaligh pada waktu itu. Petruk juga dikenal dengan sebutan Kanthong Bolong artinya kantong yang berlobang. Maknanya, manusia harus menzakatkan hartanya sebagian hartanya secara ihlas karena Allah.
Kemudian Bagong, diambil dari kata Baghaa, yang artinya berontak. Maksudnya Yaitu berontak terhadap kebathilan atau kemungkaran. Ada juga pendapat yang menyebut Bagong dari kata Baqa, yang berarti kekal. Maksudnya, semua manusia hanya akan hidup kekal setelah di akhirat nantinya.
Para tokoh punakawan juga berfungsi sebagai pamomong untuk tokoh wayang lainnya. Ini menyiratkan tuntunan bahwa manusia butuh sosok pamomong atau pelindung. Siapa lagi kalau bukan Allah Yang Maha Pelindung. Dan, inilah falsafah sikap pamomong yang digambarkan oleh para tokoh punakawan.
Nah, sekarang pertanyaannya adalah: layakkah tokoh panakawan, seperti Semar, begitu diagungkan dan dikultuskan layaknya dewa ataupun “penuntun” oleh sebagian masyarakat? Apalagi yang imannya tipis. Bukankah semua tokoh tersebut hanyalah rekaan atau ciptaan para wali untuk menyimbolisasi suatu keadaan dalam misi dakwah mereka menyebarkan Islam? Sebagai contoh Semar diceritakan sebagai seorang dewa (Bathara Ismoyo /?) yang menjelma manusia biasa untuk menjalankan sebuah misi suci.Hal ini bisa dipandang sebagai gambaran cara Allah SWT menurunkan Islam kepada umat manusia dengan tidak menghadirkan sosok Allah langsung sebagai Tuhan di muka bumi. Begitu pula dengan sosok Semar ketika memerankan diri sebagai Badranaya. Badra berarti kebahagiaan dan naya berarti kebijaksanaan. (*/berbagai sumber)
Duuh..., malu banget deh. Aku kan juga pasang Semar di ruang keluarga, ukuran gede. Memang dulunya mendiang suami mendapat wayang tersebut dari salah satu temannya yang paranormal. Entah tujuannya untuk apa, yang jelas beliau memasang Semar itu di ruang tersebut dan tidak boleh dipindah-pindah. Hingga beliau wafat, wayang itu masih kami pasang di tempat semula.
Banyak kemusyrikan di tengah masyarakat. Termasuk mereka yang "percaya" kepada petunjuk "dukun/orang pintar" yang memberi saran. Ironisnya, mereka yang "percaya" ini juga masih melakukan tatacara agama (mungkin hanya formalitas/sekadar memenuhi kewajiban, tanpa penjiwaan iman).
(Sigit-pecinta Garuda Indonesia, nusantara)
Kalau sekedar hiasan (meski inspirasi memilih salah satu tokoh wayang sebagai idola tentunya berasal dari karakter si wayang tersebut), tentunya tidak masalah. Bukan berarti kita mengkultus-individukan tokoh melebihi Allah. Semua tergantung pemahaman dan pola pikir dalam merespons sesuatu.
Katur wonten ngarsanipun bp@iqbaljavanese,mugi tansah pinaringan sehat lan iman,Aamiin.Nyuwun pirso,ko dangu mboten nyerat artikel maleh,bp @iqbaljavanese.Prayoginipun,dipun lanjut kemawon anggenipun nyerat,migunani sanget tundhonipun poro sederek sedoyo,nuwun..