Tatacara Perhelatan Jawa Kian Memprihatinkan (Bagian-1)
Di era serba-digital sekarang, banyak orang Jawa dari generasi terkini yang sudah tak lagi bersemangat untuk mendalami budaya Jawa. Contoh mudah adalah kemampuan berbahasa Jawa, khususnya bahasa pragmatik dalam even atau perhelatan yang kerap digunakan oleh seorang Pambiwara (master of ceremony). Umumnya kalangan muda banyak yang "merasa sulit" lebih dulu sebelum memelajari bahasa pambiwara. Akibatnya, ketika mereka hendak punya gawe misalnya even pernikahan, mereka menempuh langkah instan. Seperti menyerahkan kepada orang-orang tua untuk membikin pratelan tatacara dan paraga (penyusunan acara dan pembentukan panitia). Atau, mereka pun menyerahkan urusan ini sepenuhnya kepada pihak event organizer (EO) atau wedding organizer (WO).
Nah, alternatif terakhir tadi (even pernikahan tradisional diserahkan kepada WO/EO) kadang sering bikin rancu tatacara pernikahan adat Jawa. Bayangkan, mulai busana yang dikenakan hingga beberapa tatacara tradisional Jawa seperti panggih maupun sungkeman diterapkan, namun "ruh" Jawa-nya sudah tak ada. Sungguh menggelikan, ketika menghadiri acara pernikahan yang "menggunakan" kemasan tatacara adat Jawa, namun ketika masuk sesi pasugatan (hidangan, Red) menerapkan cara standing party. Begitu pula dengan nuansa musiknya, sudah tak lagi beratmosfer Jawa. Pasalnya, gendhing-gendhing pahargyan atau pasamuwan hanya ketika sesi panggih, sungkeman serta usai atur pambageharjo saja. Selebihnya, telah didominasi alunan musik elektronik dari kibor, bahkan combo maupun big band. Jenis musiknya pun beragam, tergantung kelas dan selera yang punya hajat. Ada yang campursari, keroncong, pop hingga alunan yang sarat nada-nada jazzy. (javanese.kontemplasi.5 feb'10)