Pambiwara dan Model Resepsi Perkawinan di Era Digital
Oleh: Iqbal Wahyu Purwito, pengurus Paguyuban Metri Budaya Jawa MELATHI Surakarta
PERNAHKAH Anda mencoba memerhatikan suasana saat menghadiri undangan resepsi perkawinan? Anda merasakan adanya sentuhan atmosfer budaya Jawa? Secara fisik kita bisa melihat ada janur, kembar mayang, maupun dekorasi bersuasana tradisi Jawa. Juga busana yang dikenakan mempelai, kedua orang tua mempelai, maupun para panitia penerima tamu. Bahkan, tatacara perkawinan adat Jawa juga disertakan meski tidak lengkap, seperti adanya pasrah-panampi, panggih, kadang memakai krobongan/kacar-kucur, maupun pangabekten/sungkeman. Suasana beraroma tradisi Jawa juga kian terasa kental dengan lantunan gendhing-gendhing Jawa ataupun beksan/tarian Jawa, serta penggunaan bahasa Jawa dari pambiwara/MC maupun petugas yang melakukan hamicara (pasrah, panampi serta pambageharja). Nah, setelah melihat dan merasakan acara seperti ini, tak jarang sang mempelai maupun para tamu undangan menilai pesta perkawinan ini dihelat secara adat Jawa.
Namun, benarkah itu dilakukan sesuai adat Jawa? Bukankah acara perkawinan dalam adat Jawa banyak tahap-tahap yang merupakan satu rangkaian? Ambil contoh, menjelang hari pelaksanaan perkawinan, calon pengantin putri melakukan puasa maupun laku “adat Jawa”, dengan harapan secara psikis menjadi lebih yakin dan lebih tenang. Inilah sebenarnya inti “laku” dalam budaya Jawa, yakni membangkitkan ketenangan diri karena kepasrahannya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, serta merasa secara fisik sudah siap untuk tampil dan dilihat para tamu undangan. Dengan ketenangan serta kepercayaan diri tadi, inner beauty-nya akan memancar sehingga terlihat lebih memesona. Ini baru sebagian kecil contoh dari rangkaian/tahap bagi calon mempelai.
Ada lagi. Sering kita lihat acara dikemas dalam tatacara Jawa (busana, bahasa, urutan acara), namun penyajian makanan dilakukan secara prasmanan. Bahkan, kadang menerapkan konsep standing party. Tentunya hal semacam ini akan menjadi antiklimaks dari sisi tradisi. Bukankah orang Jawa selalu “nguwongke” (menghargai orang lain), apalagi kepada tamu undangan. Kalau sesuai adat Jawa, tamu dipersilakan duduk nyaman dan urusan hidangan juga dilayani secara “laden” oleh pramusaji atau sinoman.
Masih banyak tentunya hal lain tentang “adat perkawinan Jawa “ yang diterapkan di zaman kini. Namun tulisan saya kali ini tidak akan membahas persoalan tersebut. Saya hanya ingin mencuatkan mengenai eksistensi bahasa Jawa dalam perhelatan resepsi perkawinan di era digital ini. Apa strategi agar bahasa Jawa tetap digunakan di tengah terpaan kreasi dan modifikasi acara resepsi perkawinan di era sekarang? Kuncinya adalah ada pada sikap pambiwara (master of ceremony) beradaptasi dengan perubahan zaman. Artinya, pambiwara harus luwes menyesuaikan keinginan calon mempelai atau orang yang punya hajat, supaya bisa melestarikan bahasa Jawa di tengah masyarakat. Dan, terbukti pambiwara yang luwes/fleksibel, bahkan kreatif, tak pernah khawatir job bakal sirna oleh perubaan zaman. Misalnya, ketika mendapat tawaran menjadi pambiwara untuk acara walimatul ‘urusy /resepsi pernikahan secara islami. Di sini, meski hanya ada acara pambageharja dan kadang mauidhotul hasanah/taushiyah, pambiwara tetap bisa berekspresi dengan bahasa Jawa. Misalnya saat mempelai memasuki ruang majelis (biasanya dipisah antara pria dan wanita, termasuk kedua mempelai), pambiwara bisa memberi isen-isen ataupun panyandra mengenai tatacara walimatul ‘urusy yang syar’i, kemudian maksud dan tujuan dilakukannya acara seperti ini (tentunya disampaikan dengan menyesuaikan situasi dan kondisi serta melihat audiens). Kemasan acara walimatul ’urusy secara islami semacam ini kadang “ditakuti” pambiwara secara umum, padahal sebenarnya justru lebih mudah dan praktis. Barangkali saja ketakutan pambiwara lantaran “kurang bekal” terhadap sejumlah istilah islami, serta doa atau ucapan yang baik untuk mempelai . yang utama adalah penguasaan doa pembuka maupun penutup majelis. Untuk istilah islami, doa maupun ucapan yang baik bagi pengantin serta tamu undangan, lebih bagus dalam bahasa Arab dan dilengkapi terjemahannya, mengingat tamu yang kadang heterogen baik dari sisi agama maupun manhaj audiens.
Bagaimana dengan pambiwara ketika harus membawakan acara resepsi yang dikemas dengan selera modern? Saya ambilkan contoh, ketika busana pengantin dan kedua orang tua memakai kejawen, namun tidak ada acara pasrah-panampi dan panggih. Mempelai dan orang tua kedua mempelai masuk bersamaan dengan iringan musik dari group band ataupun solo keyboard dengan sajian irama non-gendhing. Tidak masalah bagi pambiwara, kalau memanghal tersebut merupakan keinginan pengantin (bisa jadi karena dia seorang pemain band, sehingga melibatkan teman-temannya mengiringi). Pambiwara masih bisa berekspresi ketika mempelai dan kedua orang tua sudah duduk di kursi pelaminan.
Dengan demikian, intinya adalah pambiwara di era modern ini harus fleksibel/luwes, bahkan kreatif. Sebab, tidak menutup kemungkinan di masa mendatang, acara “pakem” dalam resepsi perkawinan adat Jawa bakal kian tak lengkap lagi diterapkan. Artinya, tidak menutup kemungkinan nantinya tahapan-tahapan banyak yang dipangkas diganti kreasi “gila/ekstrem” sesuai usia mempelai di masanya. Bisa jadi pula nantinya hanya mencomot busana Jawa-nya saja karena pertimbangan nilai unik-eksotik, sedang bahasa Jawa tidak lagi diterapkan karena diganti dengan bahasa nasional.
Nah, mengantisipasi agar suasana perkawinan adat Jawa tetap terasa (paling tidak seremonial pakem, seperti pasrah-panampi dan pambageharja) serta bahasa Jawa dalam pambiwara maupun hamicara, maka tugas kita sebagai pelestari budaya adalah membuat nyaman terlebuh dulu dengan bersikap fleksibel. Kemudian secara bertahap melakukan sosialisasi nilai budaya Jawa, tentunya yang sesuai dengan aturan agama maupun kaidah masyarakat. (*solo, februari 2011*)
Namun, benarkah itu dilakukan sesuai adat Jawa? Bukankah acara perkawinan dalam adat Jawa banyak tahap-tahap yang merupakan satu rangkaian? Ambil contoh, menjelang hari pelaksanaan perkawinan, calon pengantin putri melakukan puasa maupun laku “adat Jawa”, dengan harapan secara psikis menjadi lebih yakin dan lebih tenang. Inilah sebenarnya inti “laku” dalam budaya Jawa, yakni membangkitkan ketenangan diri karena kepasrahannya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, serta merasa secara fisik sudah siap untuk tampil dan dilihat para tamu undangan. Dengan ketenangan serta kepercayaan diri tadi, inner beauty-nya akan memancar sehingga terlihat lebih memesona. Ini baru sebagian kecil contoh dari rangkaian/tahap bagi calon mempelai.
Ada lagi. Sering kita lihat acara dikemas dalam tatacara Jawa (busana, bahasa, urutan acara), namun penyajian makanan dilakukan secara prasmanan. Bahkan, kadang menerapkan konsep standing party. Tentunya hal semacam ini akan menjadi antiklimaks dari sisi tradisi. Bukankah orang Jawa selalu “nguwongke” (menghargai orang lain), apalagi kepada tamu undangan. Kalau sesuai adat Jawa, tamu dipersilakan duduk nyaman dan urusan hidangan juga dilayani secara “laden” oleh pramusaji atau sinoman.
Masih banyak tentunya hal lain tentang “adat perkawinan Jawa “ yang diterapkan di zaman kini. Namun tulisan saya kali ini tidak akan membahas persoalan tersebut. Saya hanya ingin mencuatkan mengenai eksistensi bahasa Jawa dalam perhelatan resepsi perkawinan di era digital ini. Apa strategi agar bahasa Jawa tetap digunakan di tengah terpaan kreasi dan modifikasi acara resepsi perkawinan di era sekarang? Kuncinya adalah ada pada sikap pambiwara (master of ceremony) beradaptasi dengan perubahan zaman. Artinya, pambiwara harus luwes menyesuaikan keinginan calon mempelai atau orang yang punya hajat, supaya bisa melestarikan bahasa Jawa di tengah masyarakat. Dan, terbukti pambiwara yang luwes/fleksibel, bahkan kreatif, tak pernah khawatir job bakal sirna oleh perubaan zaman. Misalnya, ketika mendapat tawaran menjadi pambiwara untuk acara walimatul ‘urusy /resepsi pernikahan secara islami. Di sini, meski hanya ada acara pambageharja dan kadang mauidhotul hasanah/taushiyah, pambiwara tetap bisa berekspresi dengan bahasa Jawa. Misalnya saat mempelai memasuki ruang majelis (biasanya dipisah antara pria dan wanita, termasuk kedua mempelai), pambiwara bisa memberi isen-isen ataupun panyandra mengenai tatacara walimatul ‘urusy yang syar’i, kemudian maksud dan tujuan dilakukannya acara seperti ini (tentunya disampaikan dengan menyesuaikan situasi dan kondisi serta melihat audiens). Kemasan acara walimatul ’urusy secara islami semacam ini kadang “ditakuti” pambiwara secara umum, padahal sebenarnya justru lebih mudah dan praktis. Barangkali saja ketakutan pambiwara lantaran “kurang bekal” terhadap sejumlah istilah islami, serta doa atau ucapan yang baik untuk mempelai . yang utama adalah penguasaan doa pembuka maupun penutup majelis. Untuk istilah islami, doa maupun ucapan yang baik bagi pengantin serta tamu undangan, lebih bagus dalam bahasa Arab dan dilengkapi terjemahannya, mengingat tamu yang kadang heterogen baik dari sisi agama maupun manhaj audiens.
Bagaimana dengan pambiwara ketika harus membawakan acara resepsi yang dikemas dengan selera modern? Saya ambilkan contoh, ketika busana pengantin dan kedua orang tua memakai kejawen, namun tidak ada acara pasrah-panampi dan panggih. Mempelai dan orang tua kedua mempelai masuk bersamaan dengan iringan musik dari group band ataupun solo keyboard dengan sajian irama non-gendhing. Tidak masalah bagi pambiwara, kalau memanghal tersebut merupakan keinginan pengantin (bisa jadi karena dia seorang pemain band, sehingga melibatkan teman-temannya mengiringi). Pambiwara masih bisa berekspresi ketika mempelai dan kedua orang tua sudah duduk di kursi pelaminan.
Dengan demikian, intinya adalah pambiwara di era modern ini harus fleksibel/luwes, bahkan kreatif. Sebab, tidak menutup kemungkinan di masa mendatang, acara “pakem” dalam resepsi perkawinan adat Jawa bakal kian tak lengkap lagi diterapkan. Artinya, tidak menutup kemungkinan nantinya tahapan-tahapan banyak yang dipangkas diganti kreasi “gila/ekstrem” sesuai usia mempelai di masanya. Bisa jadi pula nantinya hanya mencomot busana Jawa-nya saja karena pertimbangan nilai unik-eksotik, sedang bahasa Jawa tidak lagi diterapkan karena diganti dengan bahasa nasional.
Nah, mengantisipasi agar suasana perkawinan adat Jawa tetap terasa (paling tidak seremonial pakem, seperti pasrah-panampi dan pambageharja) serta bahasa Jawa dalam pambiwara maupun hamicara, maka tugas kita sebagai pelestari budaya adalah membuat nyaman terlebuh dulu dengan bersikap fleksibel. Kemudian secara bertahap melakukan sosialisasi nilai budaya Jawa, tentunya yang sesuai dengan aturan agama maupun kaidah masyarakat. (*solo, februari 2011*)